Senin, November 30, 2009

Selamatkan Pendidikan Kita

Problem Pendidikan di Era Reformasi

Kualitas suatu bangsa ditentukan oleh kebudayaannya. Kebudayaan adalah konsep, gagasan, pikiran, dan keyakinan yang dianut oleh suatu masyarakat dalam waktu lama sehingga menuntun mereka dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Berbeda konsep, berakibat berbeda pula perilaku, salah konsep berakibat menjadi salah perilaku. Kebudayaan tidak jadi dengan sendirinya, tetapi dibangun oleh para pemimpin bangsa.
Konsep kebangsaan Indonesia misalnya tercermin dalam konstitusi (Pancasila, UUD 45 dst) yang dirumuskan oleh faunding father RI dan dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. Membangun kebudayaan dilakukan terutama melalui pendidikan. Oleh karena itu sangat mengherankan ketika dalam kabinet kita, kebudayaan hanya ditempel pada pariwisata sehingga kebudayaan terdistorsi menjadi benda-benda kebudayaan yang dijadikan obyek pariwisata, sementara ruhnya justru tidak ada yang mengerjakan.
Sesungguhnya jika tidak menjadi departemen sendiri, kebudayaan lebih tepat berada di Departemen Pendidikan (Depdikbud), karena pendidikanlah yang membangun konsep budaya Indonesia pada generasi sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi, sementara Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Taman kanak-kanak bisa diserahkan kepada masyarakat lokal sebagai wujud pembentukan budaya lokal, dan kearifan lokal.
Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal:
  1. Pertama, oleh faktor hereditas, faktor keturunan. Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran.
    Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun
    masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justeru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. What wrong?
  2. Kedua, dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Lalu apa yang salah pada pendidikan generasi ini?
Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini, meliputi:
[1] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah.
[2] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing.
[3] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin.
[4] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global
[5] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa.
Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp.400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp.4.000,-/anak/tahun.
[6] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh.
[7] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah.
[8] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika.
[9] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif.
Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang
telah melahirkan buahnya yang pahit, yakni:

  • Generasi muda yang langitnya rendah, tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.
  • Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.
  • Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.
  • Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair
  • Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis
  • Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah
  • Cendekiawan yang hipokrit,
  • Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan
  • Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.
  • Pemimpin-pemimpin daerah yang kebingungan. Bupati daerah minus tetap mengharap kucuran dari pusat, bupati daerah plus menghambur-hamburkan uang untuk hal-hal yang tidak strategis.
Pendidikan pada Era reformasi
  • Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi.
  • Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidak kompetetif hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus.
  • Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya.
  • Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan yang sebenarnya..
  • Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi yang jelimet, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.
  • Sekolah international diperlukan sebagai respond terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda.
  • Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan.

Kamis, Oktober 08, 2009

LSM KUPAS TUNTAS MEMINTA BUPATI MADINA CABUT IZIN LOKASI PT RENDI PERMATA RAYA


BUPATI MADINA HARUS SEGERA CABUT IZIN LOKASI PT RENDI PERMATA RAYA DI MUARA BATANG GADIS




Medan, (Portibi DNP).



Sehubungan dengan adanya rencana pembukaan Lahan Perkebunan yang terletak di Desa Sikapas, Singkuang Kecamatan Muara Batang Gadis Kabupaten Mandailing Natal An. PT. Rendi Permata Raya dengan tanah seluas ± 4000 Ha untuk keperluan perkebunan budi daya tanaman kelapa sawit, ternyata tidak diterima masryarakat setempat sebab keberadaan lahan perusahaan tidak pernah melakukan sosialisasi dan musyawarah dengan masyarakat desa singkuang.



Padahal seharusnya dalam peraturan UU No 18 tahun 2004 Tentang Perkebunan BAB III pasal 9 ayat 2 yang berbunyi:Dalam hal tanah yang diperlukan merupakan tanah hak ulayat masyarakat hukum adat yang menurut kenyataanya masih ada, mendahului pemberian hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemohon hak wajib melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat dan warga pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, untuk memperoleh kesepakatan mengenai penyerahan tanah dan imbalanya.



Hasil Investigasi dan survey dilapangan dalam hal ini PT Rendi Permata Raya belum mengindahkan peraturan perundang-undangan. Semestinya perusahan tersebut harus berkewajiban melibatkan masyarakat dengan cara partisipatif, terpadu, terbuka dan akuntabel dan dengan pola kemitraan, ujar Khairuddin Ketua LSM Kupas Tuntas Sumatera Utara kepada Portibi DNP rabu (7/10) di Grand Antares hotel Medan.



Khairuddin menambahkan seharusnya kepala daerah dalam hal ini Bupati Madina harus lebih slektif dalam mengeluarkan izin lokasi terhadap pemodal yang ingin mendirikan perusahaan perkebunan di daerahnya khususnya di Kecamatan Muara Batang Gadis, perlu di ingat bahwa daerah tersebut baru saja mengalami musibah bencana alam berupa banjir bandang.



Kepada wartawan beliau juga menegaskan bahwa banjir bandang di Kec. Muara Batang Gadis disebabkan karena adanya penggundulan hutan secara besar-besaran sehingga potensi untuk banjir itu cukup besar. Saya prihatin dengan musibah yang telah menimpa saudara-saudara kita yang ada di kecamatan muara batang gadis untuk itu Bupati dan Para Pemodal harus bertanggung jawab atas penderitaan yang mereka alami.



Hal senada juga disampaikan oleh tokoh masyarakat bahwa PT Rendi Permata Raya sangat merugikan mereka, dimana setelah dikeluarkannya izin lokasi Perkebunan PT tersebut oleh Bupati masyarakat tidak bisa lagi memanfaatkan lahan tersebut sebagai sumaber mata pencaharian masyarakat, dan mereka sangat merasa resah dan merasa dirugikan dengan perusahaan tersebut.



Kemudian Sesuai dengan keluarnya surat keputusan dari Bupati Mandailing Natal tentang Izin Lokasi No. 525.25/143/K/2005 pada tanggal 09 Maret 2005, Surat Arahan Lahan No. 522/1299/Dishut/2004 pada tanggal 08 November 2004, Surat tentang Izin Usaha Perkebunan No. 525.25/075/DISBUN/Tahun 2005 pada tanggal 02 Februari 2005 dan masing-masing ditetapkan di Panyabungan Mandailing Natal dan saat ini PT Rendi Permata Raya sedang dalam proses Pengurusan Hak Guna Usaha (HGU) Perkebunan, PT Rendi Permata Raya belum melakukan ganti rugi lahan, pago-pago (hilangnya sumber pencaharian) mereka, dan mereka belum mengoptimalkan pengelolaan dalam perkebunan..



Mulai dari keluarnya surat keputusan dari Bapak Bupati tahun 2005 sampai dengan tahun 2009 sebagaimana dimaksud diatas An. PT Rendi Permata Raya belum melaksanakan pelestarian lingkungan hidup / menerapkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan pemantauan dan/atau menegement resiko lingkungan hidup serta penerapannya. Dan apa bila dengan belum berjalannya proses AMDAL, tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud berhak untuk DITOLAK Permohonan Izin Usahanya, dan apabila PT Rendi Permata Raya tetap beroperasi di daerah tersebut, masyarakat, mahasiswa pantai barat dan LSM akan melakukan aksi besar-besaran kepada instansi terkait dua minggu setelah hari ini. Ungkap khairuddin yang juga mahasiswa pasca sarjana Antropologi Sosial Universitas Negeri Medan.








Selasa, Oktober 06, 2009

DPRD YANG BARU DILANTIK HARUS LEBIH BAIK DARI YANG SEBELUMNYA

jabatan sebagai anggota DPR/DPRD merupakan jabatab yang di wakilkan oleh rakyat kepada legislator untuk dapat menyambungkan aspirasi masyarakat agar dari berbagai permasalahan yang mereka hadapi akan mudah terselesaikan. anggota dewan semestinya sebagai kaki tangan masyarakat bukan hanya sebagai kaki tangan pejabat ekskutif dalam arti hanya mengedepankan kepentingan sesaat, elit politik, proyek dsb. persoalan ini bukan menjadi rahasia umum lagi melainkan semua masyarakat sudah tahu tentang permasalahan ini. jadilah pimpinan yang aspiratif, jujur, amanah, akuntabel, tranfaransi dan selalu mengedepankan kepentingan orang banyak.